Minggu, 03 Januari 2016

Pengertian Gibah (Menggunjing)



Pengertian Gibah (Menggunjing)
1.      Pengertian Ghibah
Ghibah atau gosip merupakan sesuatu yang dilarang agama. Ghibah dapat mencerai-beraikan ikatan kasih sayang dan ukhuwah sesama manusia. Seseorang yang berbuat ghibah berarti dia telah menyemai kedengkian dan kejahatan dalam masyarakat.
Ghibah berasal dari bahasa Arab dengan akar kata ghaaba, yang berarti ‘tidak hadir’, atau lawan kata dari hadhara. Asal usul kata ini memberi pemahaman adanya unsur ‘ketidakhadiran seseorang’ dalam gibah, yakni orang yang menjadi obyek pembicaraan.
Dari segi definisi istilah atau terminologi, gibah diartikan sebagai pembicaraan tentang seseorang yang tidak hadir dalam pembicaraan itu, yang apabila dia mendengarkannya akan menjadi terganggu atau tidak senang. Dalam bahasa Indonesia, gibah diterjemahkan sebagai “menggunjing”.
Jabir bin Abdullah ra. Meriwayatkan “Ketika kami bersama Rasulullah SAW. Tiba-tiba tercium bau busuk yang menyengat seperti bau bangkai maka Rasul pun bersabda, “Tahukah kalian, bau apakah ini? Inilah bau dari orang-orang yang mengghibah orang lain”. (HR Ahmad)
2.      Hukum Ghibah
Allah berfirman dalam Surah al-Hujurat(49):12 :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمُُ وَلاَتَجَسَّسُوا وَلاَيَغْتَب بَّعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ تَوَّابُُ رَّحِيمُُ {12}
Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka (kecurigaan), karena sebagian dari prasangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang (Surah al-Hujurat(49):12)
Ayat tersebut menegaskan posisi hukum gibah sebagai sebuah perbuatan yang merusak tata hidup kemasyarakatan sekaligus sebagai “pengkhianatan” terhadap sesama manusia. Sebuah perumpamaan yang sangat tegas dari al-Qur’an tentang gibah ini adalah “sukakah engkau memakan daging saudaramu yang sudah mati”. Pertanyaan yang ironis dari kata “ayuhibbu“ (sukakah) melambangkan bahwa terdapat kecenderungan orang untuk suka bergibah, namun kesukaan itu dicela agama. Lalu ada kata “memakan daging” yang berarti menikmati suasana gibah itu bagaikan seseorang yang mamakan daging dengan nikmatnya. Sedangkan kata “maytan” (mati) berarti bahwa orang yang digibah itu dalam keadaan tidak berdaya, tidak mampu dan tidak sempat membuat pembelaan karena dia tidak hadir.
يَاأّيُّهَا الّذِينَ ءَامَنُوا لاَيَسْخَرْ قَوْمُُ مِّن قَوْمٍ عَسَى أَن يَكُونُوا خَيْرًا مِّنْهُمْ وَلاَنِسَآءُُ مِّن نِّسَآءٍ عَسَى أَن يَكُنَّ خَيْرًا مِّنْهُنَّ وَلاَتَلْمِزُوا أَنفُسَكُمْ وَلاَتَنَابَزُوا بِاْلأَلْقَابِ بِئْسَ اْلإِسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ اْلإِيمَانِ وَمَن لَّمْ يَتُبْ فَأُوْلاَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ {11}
 “Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh Jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh Jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan Barangsiapa yang tidak bertobat, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim. (Surah Al Hujuraat : 11)
Jangan mencela dirimu sendiri maksudnya ialah mencela antara sesama mukmin karana orang-orang mukmin seperti satu tubuh. Panggilan yang buruk ialah gelar yang tidak disukai oleh orang yang digelari, seperti panggilan kepada orang yang sudah beriman, dengan panggilan seperti: Hai fasik, Hai kafir dan sebagainya.
Oleh karena itu tidak halal seorang muslim yang mengenal Allah dan mengharapkan hidup bahagia di akhirat kelak, memperolokkan orang lain, atau menjadikan sementara orang sebagai objek permainan dan perolokannya. Sebab dalam hal ini ada unsur kesombongan yang tersembunyi dan penghinaan kepada orang lain, serta menunjukkan suatu kebodohannya tentang neraca kebajikan di sisi Allah. Justru itu Allah mengatakan: "Jangan ada suatu kaum memperolokkan kaum lain, sebab barangkali mereka yang diperolokkan itu lebih baik daripada mereka yang memperolokkan; dan jangan pula perempuan memperolokkan perempuan lain, sebab barangkali mereka yang diperolokkan itu lebih baik daripada mereka yang memperolokkan."
Yang dinamakan baik dalam pandangan Allah, yaitu: iman, ikhlas dan mengadakan kontak yang baik dengan Allah. Bukan dinilai dari rupa, badan, pangkat dan kekayaan.
Dalam hadisnya Rasulullah shollallohi 'alaihi wasallam mengatakan: "Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa kamu dan kekayaan kamu, tetapi Allah melihat hati kamu dan amal kamu." (Riwayat Muslim)
Bolehkah seorang laki-laki atau perempuan diperolokkan karena suatu cacat di badannya, perangainya atau karena kemiskinannya? Dalam sebuah riwayat diceriterakan, bahwa Ibnu Mas'ud pernah membuka betisnya dan nampak kecil sekali. Maka tertawalah sebagian orang. Lantas Rasulullah shollallohi 'alaihi wasallam bersabda:
"Apakah kamu mentertawakan kecilnya betis Ibnu Mas'ud, demi Allah yang diriku dalam kekuasaanNya: bahwa kedua betisnya itu timbangannya lebih berat daripada gunung Uhud." (Riwayat Thayalisi dan Ahmad)
Al-Quran juga menghikayatkan tentang orang-orang musyrik yang memperolok orang-orang mu'min, lebih-lebih mereka yang lemah-seperti Bilal dan 'Amman-- kelak di hari kiamat, neraca menjadi terbalik, yang mengolok-olok menjadi yang diolok-olok dan ditertawakan:
إِنَّ الَّذِينَ أَجْرَمُوا كَانُوا مِنَ الَّذِينَ ءَامَنُوا يَضْحَكُونَ {29} وَإِذَا مَرُّوا بِهِمْ يَتَغَامَزُونَ {30} وَإِذَا انْقَلَبُوا إِلىَ أَهْلِهِمُ انقَلَبُوا فَاكِهِينَ {31} وَإِذَا رَأَوْهُمْ قَالُوا إِنَّ هَآؤُلآَءِ لَضّآلُّونَ {32} وَمَآأُرْسِلُوا عَلَيْهِمْ حَافِظِينَ {33} فَالْيَوْمَ الَّذِينَ ءَامَنُوا مِنَ الْكُفَّارِ يَضْحَكُونَ {34}
Sesungguhnya orang-orang yang berdosa, adalah mereka yang dahulunya (di dunia) menertawakan orang-orang yang beriman. (QS. 83:29)
Dan apabila orang-orang beriman lalu di hadapan mereka, mereka saling mengedip-ngedipkan matanya. (QS. 83:30)
Dan apabila orang-orang berdosa itu kembali kepada kaumnya, mereka kembali dengan gembira. (QS. 83:31)
Dan apabila mereka melihat orang-orang mu'min, mereka mengatakan:"Sesungguhnya mereka itu benar-benar orang-orang yang sesat", (QS. 83:32)
padahal orang-orang yang berdosa itu tidak dikirim untuk penjaga bagi orang-orang mu'min. (QS. 83:33)
Maka pada hari ini, orang-orang yang beriman menertawakan orang-orang kafir, (QS. 83:34)(Qs.al-Muthaffifin(83) 29-34)
Ghibah juga sama dengan riba, bahkan lebih berat lagi dosanya. Sebagaimana Abu Ya’la meriwayatkan, Bahwa Rasulullah shollallohi 'alaihi wasallam bersabda:
"Tahukah kamu seberatberat riba di sisi Allah?" Jawab sahabat: "Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui."
Nabi shollallohi 'alaihi wasallam bersabda: "Seberat-berat riba di sisi Allah ialah menganggap halal mengumpat kehormatan seorang muslim."
Kemudian Nabi shollallohi 'alaihi wasallam membaca ayat yang artinya: "Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata." (As-Silsilah As- Shahihah, 1871)
Penyakit ghibah pernah menjangkiti Aisyah, istri Rasulullah shollallohi 'alaihi wasallam Aisyah sang istri Rasulullah shollallohi 'alaihi wasallam pernah lalai melakukan hal Ghibah dan Rasulullah shollallohi 'alaihi wasallam sempat marah padanya dan langsung memperingatkan sang Istri. Tatkala itu, Aisyah berkata kepada Nabi shollallohi 'alaihi wasallam:
"Cukuplah bagimu Shafiyah (cukup cela untukmu Shafiyah yang bertubuh pendek)." Dengan nada keras beliau menjawab: "Sesungguhnya engkau telah mengeluarkan satu kalimat yang amat keji, andaikan dicampur dengan air laut niscaya dapat merusaknya." Dan pada kesempatan lain, Aisyah juga berkata: "Saya mencontohkan kejelekan orang kepada Nabi shollallohi 'alaihi wasallam" Maka Nabi bersabda: "Saya tidak suka mencontohkan (memperagakan keburukan) orang meskipun saya akan mendapat upah ini dan itu yang banyak." (HR.Abu Dawud dan At Tirmidzi dari Aisyah).
Dosa ghibah juga lebih besar daripada berbuat zina.
"Hati-hatilah kamu dari ghibah, karena sesungguhnya ghibah itu lebih berat dari pada berzina. Ditanya, bagaimanakah? Jawabnya, "Sesungguhnya orang yang berzina bila bertaubat maka Allah akan mengampuninya, sedangkan orang yang ghibah tidak akan diampuni dosanya oleh Allah, sebelum orang yang di ghibah memaafkannya." (HR Albaihaqi, Atthabarani, Abu Asysyaikh, Ibn Abid)
Begitulah Allah mengibaratkan orang yang suka menggibah dengan perumpamaan yang sangat buruk untuk menjelaskan kepada manusia, betapa buruknya tindakan ghibah.
Sebagaimana diharamkan seseorang melakukan ghibah, diharamkan juga mendengarkannya dan mendiamkan perbuatan tersebut. Oleh karena itu wajib membantah orang yang melakukannya. Dalam hadits yang diriwayatkan dari Abu Darda’ dari Nabi shollallohi 'alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa membela kehormatan saudaranya maka Allah menghalangi wajahnya dari api neraka di hari kiamat,” (HR. Tirmidzi)
Orang yang senantiasa mengumpat orang lain dan mencari-cari kesalahannya akan disiksa oleh Allah dengan siksaan yang berat. Yakni mencakar-cakar muka dan dada sendiri dengan kuku yang terbuat dari tembaga. Hal ini sebagaimana hadits Rasulullah shollallohi 'alaihi wasallam yang diriwayatkan dari Anas bin Malik r.a, bahwasanya Rasulullah shollallohi 'alaihi wasallam bersabda:
“Pada malam Isra’ mi’raj, aku melewati suatu kaum yang berkuku tajam yang terbuat dari tembaga. Mereka mencabik-cabik wajah dan dada mereka sendiri. Lalu aku bertanya pada Jibril” Siapa merka?” Jibril menjawab, “Mereka itu suka memakan daging manusia, suka membicarakan dan menjelekkan orang lain, mereka inilah orang-orang yang gemar akan ghibah!” (dari Abu Daud yang berasal dari Anas bin Malik ra).
Dari Sahl bin Sa’ad radhiyallohu anha, dia telah berkata : Rasulullah shollallohi 'alaihi wasallam telah bersabda :
“Barangsiapa memberikan jaminan kepadaku terhadap apa yang berada di antara dua rahangnya dan apa yang berada di antara dua pahanya, maka aku memberi jaminan surga baginya”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari hadits di atas disebutkan bahwa seseorang akan dijamin keselamatan akhiratnya jika ia sendiri bisa menjamin apa yang berada di antara dua rahangnya dan dua pahanya, dan apa yang ada di antara dua rahangnya adalah lidah atau perkataannya. Karena sesungguhnya perbuatan lidah ini akan sangat banyak dampak yang dapat ditimbulkan olehnya.
Dikisahkan Ubay dan Umayyah yang kaya raya sering mengejek dan menghina Nabi Muhammad shollallohi 'alaihi wasallam yang miskin karena kesombongan mereka karena harta mereka yang banyak. Selain mereka, ada juga Akhnas dan Jamil, si pengumpat, yang suka mengejek dan menghina orang miskin karena harta mereka banyak. Mereka juga senang menimbun harta dan menghitung-hitung harta mereka. Lalu Allah menurunkan surat ini sebagai peringatan atas perbuatan mereka :
وَيْلُُ لِّكُلِّ هُمَزَةٍ لُّمَزَةٍ {1} الَّذِي جَمَعَ مَالاً وَعَدَّدَهُ {2} يَحْسَبُ أَنَّ مَالَهُ أَخْلَدَهُ {3} كَلاَّ لَيُنبَذَنَّ فيِ الْحُطَمَةِ {4} وَمَآأَدْرَاكَ مَاالْحُطَمَةُ {5} نَارُ اللَّهِ الْمُوقَدَةُ {6} الَّتِي تَطَّلِعُ عَلَى الأَفْئِدَةِ {7} إِنَّهَا عَلَيْهِم مُّؤْصَدَةٌ {8} فيِ عَمَدِِ مُّمَدَّدَةٍ {9}

Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela, (QS. 104:1)
yang mengumpulkan harta lagi menghitung-hitung, (QS. 104:2)
ia mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya, (QS. 104:3)
Sekali-kali tidak! Sesungguhnya dia benar-benar akan dilemparkan ke dalam Huthamah. (QS. 104:4)
Dan tahukah kamu apa Huthamah itu (QS. 104:5)
(yaitu) api (disediakan) Allah yang dinyalakan, (QS. 104:6)
yang (naik) sampai ke hati. (QS. 104:7)
Sesungguhnya api itu ditutup rapat atas mereka, (QS. 104:8)
(sedang mereka itu) diikat pada tiang-tiang yang panjang. (QS. 104:9) (Qs. Al Humazah(104) (104) : 1 – 9)
Dari Ibnu Abbas r.a, bahwa sesungguhnya Rasulullah saw pernah berjalan melewati 2 (dua) kuburan, kemudian beliau bersabda : “Sesungguhnya 2 (dua) orang ahli kubur itu disiksa dan keduanya tidak disiksa karena dosa besar. Ya, benar. Sesungguhnya dosa itu adalah besar. Salah seorang di antara keduanya adalah berjalan di muka bumi dengan menyebarkan fitnah (mengumpat). Sedang salah seorang yang lain tidak bertirai ketika kencing”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Menggibah kadang mendapat pembenaran dengan dalih, “Ini fakta, untuk diambil pelajarannya!”. Padahal di balik itu kurang lebih mungkin lebh banyak faktor ghibahnya daripada pelajarannya.
Pada diri manusia itu cenderung terdapat sifat suka menggunjingkan orang lain. Orang cenderung ingin tahu masalah yang terjadi pada orang lain. Dengan demikian ia akan merasa beruntung tidak seperti orang lain atau tidak dirinya saja yang menderita. Jika demikian kebanyakan sifat dari manusia, tentunya kita harus sering melakukan istighfar. Syaitan dengan mudahnya mempengaruhi kebanyakan hati kita sehingga mungkin kita tengah menumpuk dosa akibat pergunjingan. Setiap orang mempunyai harga diri yang harus dihormati. Membuat malu seseorang adalah perbuatan dosa. “Tiada seseorang yang menutupi cacat seseorang di dunia, melainkan kelak di hari kiamat Allah pasti akan menutupi cacatnya” (HR. Muslim).

3.      Ghibah yang Dibolehkan
Ghibah hanya dibolehkan untuk tujuan syara’ yaitu yang disebabkan oleh enam keadaan, yaitu:
1.      Orang yang mazlum (teraniaya) boleh menceritakan dan mengadukan kezaliman orang yang menzaliminya kepada seorang penguasa atau hakim atau kepada orang yang berhak memutuskan suatu perkara dalam rusaha menuntut haknya. Hal ini dijelaskan dalam Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 148:
لاَّيُحِبُّ اللهُ الْجَهْرَ بِالسُّوءِ مِنَ الْقَوْلِ إِلاَّ مَن ظُلِمَ وَكَانَ اللهُ سَمِيعًا عَلِيمًا {148}
Allah tidak menyukai Ucapan buruk, (yang diucapkan) dengan terus terang kecualioleh orang yang dianiaya. Allah adalah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.(Qs. An-Nisa(4): 148)
Ucapan buruk sebagai mencela orang, memaki, menerangkan keburukankeburukan orang lain, menyinggung perasaan seseorang, dan sebagainya.
2.      Meminta bantuan untuk menyingkirkan kemungkaran dan agar orang yang berbuat maksiat kembali ke jalan yang benar. Pembolehan ini adalah untuk mencegah kemungkaran dan mengembalikan orang yang bermaksiat ke jalan yang benar. Selain itu, ia juga merupakan kewajipan manusia untuk beramar ma’ruf nahi munkar. Setiap muslim hendaklah saling bahumembahu menegakkan kebenaran dan meluruskan jalan orang-orang yang menyimpang dari hukum-hukum Allah.
3.      Istifta’ (meminta fatwa) berkaitan sesuatu masalah. Walaupun kita diperbolehkan menceritakan keburukan seseorang untuk meminta fatwa, untuk lebih berhati-hati, ada baiknya kita hanya menyebutkan keburukan orang lain sesuai yang ingin kita adukan, tidak lebih daripada itu.
4.      Memperingatkan kaum muslimin dari beberapa kejahatan seperti apabila ada perawi, saksi, atau pengarang yang cacat sifat atau kelakuannya, menurut ijma’ ulama kita boleh bahkan wajib memberitahukannya kepada kaum muslimin. Ia dilakukan untuk memelihara kebersihan syariat. Ghibah dengan tujuan seperti ini jelas haruskan, bahkan diwajibkan untuk menjaga kesucian hadits. Apalagi hadits merupakan sumber hukum kedua bagi kaum muslimin setelah Al-Qur’an. Dikisahkan oleh Abu Turab An-Nakhasyabi bahwa suatu saat dia mendengar Imam Ahmad bin Hambal sedang membicarakan kritikan atas sebagian periwayat hadits. Maka dia berkata kepada beliau: “Apakah anda hendak menggunjing para ulama?!” Maka Imam Ahmad menjawab: “Celaka kamu! Ini adalah nasihat, bukan menggunjing.” (Al-Baa’itsul Hatsiits, hal. 228)
Imam Ibnu Katsir mengatakan, “Berbicara tentang cela orang-orang (semacam para periwayat hadits) dalam rangka nasihat untuk membela agama Allah, Rasul dan Kitab-Nya serta untuk menasihati kaum mukminin bukanlah termasuk ghibah, bahkan pelakunya akan mendapat pahala apabila dia memiliki maksud yang tulus seperti itu.” (Al-Baa’itsul Hatsiits, hal. 228)
Pada suatu kesempatan ditanyakan kepada Yahya bin Sa’id Al-Qaththaan: “Apakah engkau tidak merasa khawatir kalau orang yang engkau tinggalkan haditsnya (dinyatakan sebagai rawi yang matruk) menjadi musuhmu pada hari kiamat kelak?” Maka beliau menjawab: “Lebih baik bagiku orang-orang itu menjadi musuhku daripada aku harus bermusuhan dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada saat itu sehingga beliau ak
5.      Menceritakan kepada khalayak tentang seseorang yang berbuat fasik atau bid’ah seperti, minum-minuman keras, merampas harta orang secara paksa. Ketika menceritakan keburukan itu kita tidak boleh menambah-nambaha dan sepanjang niat melakukan hal itu hanya untuk kebaikan agar menghindari pergaulan dengan orang tersebut. Kerana bergaul dengan orang fasik atau pun ahli bid’ah bisa membahayakan agama kita.
6.      Bila seseorang telah dikenal dengan julukan si pincang, si pendek, si bisu, si buta, atau sebagainya, maka kita boleh memanggilnya dengan gelaran di atas agar orang lain boleh memahami. Tetapi jika tujuannya untuk menghina, maka haram hukumnya. Jika ia mempunyai nama lain yang lebih baik, maka lebih baik memanggilnya dengan nama lain tersebut. (dari Imam Nawawi dalam kitab Syarah Shahih Muslim dan Riyadhu As-Shalihin)
4.      Ghibah dan Infotainment.
Sosialisasi pergunjingan di televisi bagaimanapun harus dihindari. Jangan sampai
kita merasa tidak berdosa melakukannya. Bahkan merasa terhibur dengan informasi semacam itu. Kita mesti berhati-hati. Bahaya ghibah harus senantiasa ditanamkan agar kita senantiasa sadar akan bahayanya. Benar kiranya jika dikatakan bahwa dulu orang tinggal di dalam rumah karena menghindari bahaya dari luar. Kini bahaya justru berasal dari dalam rumah sendiri yaitu dengan hadirnya acara yang menurunkan kualitas iman di televisi.
Kita bisa melihat dengan semakin maraknya tayangan infotainment TV yang berisikan berita-berita ghibah selain tentunya lebih banyak berita yang tidak jelas asalnya alias gossip. Cerita perselingkuhan artis, kasus perkelahian antar suami istri, atau berita artis yang menolak ibunya, atau ibu yang menyumpahi anaknya. Atau berita tentang mantan istri yang menceritakan kejelekan mantan suaminya
Menceritakan kejelekan orang lain ada dua jenis, yaitu yang benar-benar terjadi dan yang tidak benar-benar terjadi. Dalam bahasa Arab-nya, yang benar-benar terjadi disebut “ghibah“, Sedangkan jika cerita tersebut adalah karangan/khayalan yang tidak benar-benar terjadi maka disebut ”fitnah”.
Beberapa berita di Infotaiment, sebagian besar adalah ghibah (kejelekan yang benar-benar terjadi) namun lebih banyak lagi mengenai fitnah (yang tidak benar-benar terjadi), dimana istilah ‘keren”nya adalah gossip.
Lalu pertanyaannya adalah apakah menonton infotainment juga haram? Al-Ghazali menegaskan bahwa mustami’ (pendengar) adalah sekutu atau kongsi dari si pengucap, dalam dosa dan keburukannya. Ini yang menarik, karena mungkin sebagian kalangan menganggap bahwa dosa gibah hanya dipikul oleh pelaku pengucap, sedangkan mereka yang hanya mendengar bisa terbebas dari dosa dan keburukan tersebut. Kalau dilogikakan, bagaimana mungkin si pengucap menanggung dosa gibah itu sendirian. Sedangkan dia tidak mungkin mengucapkan gibah itu bila tidak ada yang mau mendengar. Karena itu, sekecil apapun respon si pendengar ketika dia tidak segera meninggalkan majlis (tempat bertemu) atau mengalihkan topik pembicaraan, itu sudah cukup mengantarkannya menjadi anggota kelompok penggibah. Sebab respon itulah yang menjadi pelengkap dari suatu gibah. Seseorang yang bergibah di tengah orang tuli atau yang tidak perhatian, tentu tidak menjadi gibah karena tidak ada makna dari pembicaraan itu.
Orang-orang yang menyebarkan gosip nggak berada pada satu level dosa, tetapi tergantung besar kecil andilnya dalam menyebarkan gosip. Allah SWT. Berfirman :

إِنَّ الَّذِينَ جَآءُوا بِاْلإِفْكِ عُصْبَةٌ مِّنكُمْ لاَتَحْسَبُوهُ شَرًّا لَّكُم بَلْ هُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ لِكُلِّ امْرِئٍ مِّنْهُم مَّااكْتَسَبَ مِنَ اْلإِثْمِ وَالَّذِي تَوَلَّى كِبْرَهُ مِنْهُمْ لَهُ عَذَابٌ عَظِيمٌ {11}

Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga.Janganlah kamu kira berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu.Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya dan siapa diantara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar. (QS. 24:11)

Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa haram untuk infotainment baik bagi yang manayangkan maupun menonton. Fatwa tersebut disahkan dalam pleno MUI dalam Musyawarah Nasional (Munas) di Jakarta, Selasa, tanggal 27 Juli 2010 oleh Ketua Komisi Fatwa MUI, Ma`ruf Amin Dalam Musyawarah Nasional Majelis Ulama Indonesia tersebut menghasilkan tujuh (7) fatwa baru atas sejumlah permasalahan yang ada di Indonesia saat ini. Dan berikut 7 fatwa itu :
a.       Membolehkan asas pembuktian terbalik dalam kasus hukum tertentu misalnya untuk pembuktian kekayaan seseorang yang diduga diperoleh secara tidak sah;
b.      Membolehkan pilot yang sedang bertugas tidak berpuasa di bulan Ramadan. Bagi yang terbang terus-menerus dapat mengganti puasa dengan fidyah, sementara yang temporal bisa mengganti dengan puasa di lain hari;
c.       Mengharamkan kawin kontrak atau nikah wisata;
d.      Operasi ganti kelamin tanpa ada alasan alamiah dalam diri yang bersangkutan sesuai regulasi Kementerian Kesehatan diharamkan. Pengharaman ini juga berlaku bagi tenaga medis yang melakukan. Namun MUI membolehkan penyempurnaan alat kelamin;
e.       Mengharamkan donor sperma dan bank sperma. Namun Bank Air Susu Ibu dibolehkan;
f.       Mengharamkan donor organ jika pendonor masih hidup. Pendonor harus sudah meninggal, sukarela dan tidak komersial. Sementara donor organ binatang dibolehkan jika tak ada pilihan lain.
g.      Mengharamkan pemberitaan, penyiaran dan penayangan aib orang. Pengecualian hanya demi kepentingan umum seperti untuk penegakan hukum.
Menurut ketentuan umum fatwa mengenai infotainment, menceritakan aib, kejelekan gosip, dan hal-hal lain terkait pribadi kepada orang lain dan atau khalayak hukumnya haram. Dalam rumusan fatwa tersebut juga disebutkan upaya membuat berita yang mengorek dan membeberkan aib, kejelekan gosip juga haram. Begitu juga dengan mengambil keuntungan dari berita yang berisi tentang aib dan gosip dinyatakan hukumnya haram oleh MUI.
Jadi, Pandangan ulama mengenai gibah ini sudah jelas. Hukum Gibah adalah HARAM dilarang keras berdasarkan al-Qur’an Surah al-Hujurat, dan hadis riwayat Muslim yang telah dijelaskan. Dalam ayat tersebut digunakan kata “laa” yang berarti larangan (nahy). Kalimat nahy atau larangan secara otomatis bermakna pengharaman. Dan selama tidak ditemukan dalam ayat-ayat lain yang membatasi larangan itu, maka larangan atau pengharamannya bersifat mutlak. Perkecualian tentang kebolehan gibah hanyalah untuk tujuan kebaikan, sebagaimana disebut Imam Nawawi di atas. Selain itu, tidak ada alas an yang dapat diterima. Sementara dalam hadis Muslim tentang penjelasan Nabi kepada sahabatnya mengenai gibah, diketahui bahwa konteksnya sudah dalam pelarangan. Ini terbukti dengan sanggahan yang disampaikan sahabat bukan dari sisi hukumnya, namun dari sisi cakupannya.
Dengan demikian, keharaman gibah sangat kuat dan tidak menyisakan perbedaan pendapat. Dan sejauh ini tidak ditemukan pendapat yang membolehkan gibah tanpa alasan sebagaimana yang dikemukakan.

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلآئِكَةٌ غِلاَظٌ شِدَادُُ لاَّيَعْصُونَ اللهَ مَآأَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَايُؤْمَرُونَ {6}

Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa ang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (QS. At Tahrim (66): 6)
Al-‘Allamah Asy-Syaikh Abdurrahman ibnu Nashir As-Sa’di rahimahullahu berkata menafsirkan ayat ke-6 surah At-Tahrim di atas, “Jagalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka, yang disebutkan dengan sifat-sifat yang mengerikan. Ayat ini menunjukkan perintah menjaga diri dari api neraka tersebut dengan ber-iltizam (berpegang teguh) terhadap perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala, menunaikan perintah-Nya, menjauhi larangan-Nya, dan bertaubat dari perbuatan yang Allah Subhanahu wa Ta’ala murkai serta perbuatan yang menyebabkan azab-Nya. Sebagaimana ayat ini mengharuskan seseorang menjaga keluarga dan anak-anak dari api neraka dengan cara memberikan pendidikan dan pengajaran tahuid kepada mereka, serta memberitahu mereka tentang perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Seorang hamba tidak dapat selamat kecuali bila ia menegakkan apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala perintahkan terhadap dirinya dan orang-orang yang di bawah penguasaannya, baik istri-istrinya, anak-anaknya, dan selain mereka dari orang-orang yang berada di bawah kekuasaan dan pengaturannya.

1 komentar:

  1. Slot Machine Games At Borgata Hotel & Casino - JTA Hub
    Slots of Borgata 영천 출장마사지 Hotel & Casino Slot Machines and Video 안동 출장샵 Poker. New 순천 출장마사지 games. Slots 충주 출장마사지 and Video Poker! Slot Machines 청주 출장마사지 Borgata's slot machines and video poker!

    BalasHapus