Pengertian Gibah
(Menggunjing)
1. Pengertian Ghibah
Ghibah atau gosip merupakan
sesuatu yang dilarang agama. Ghibah dapat mencerai-beraikan ikatan kasih sayang
dan ukhuwah sesama manusia. Seseorang yang berbuat ghibah berarti dia telah
menyemai kedengkian dan kejahatan dalam masyarakat.
Ghibah berasal dari bahasa
Arab dengan akar kata ghaaba, yang berarti ‘tidak hadir’,
atau lawan kata dari hadhara. Asal usul kata ini memberi pemahaman
adanya unsur ‘ketidakhadiran seseorang’ dalam gibah, yakni orang yang menjadi
obyek pembicaraan.
Dari segi definisi istilah
atau terminologi, gibah diartikan sebagai pembicaraan tentang seseorang yang
tidak hadir dalam pembicaraan itu, yang apabila dia mendengarkannya akan
menjadi terganggu atau tidak senang. Dalam bahasa Indonesia, gibah
diterjemahkan sebagai “menggunjing”.
Jabir bin Abdullah ra.
Meriwayatkan “Ketika kami bersama Rasulullah SAW. Tiba-tiba tercium bau
busuk yang menyengat seperti bau bangkai maka Rasul pun bersabda, “Tahukah
kalian, bau apakah ini? Inilah bau dari orang-orang yang mengghibah orang
lain”. (HR Ahmad)
2. Hukum Ghibah
Allah berfirman dalam Surah
al-Hujurat(49):12 :
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ
إِثْمُُ وَلاَتَجَسَّسُوا وَلاَيَغْتَب بَّعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ
أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ
اللهَ تَوَّابُُ رَّحِيمُُ {12}
Hai orang-orang yang
beriman, jauhilah kebanyakan prasangka (kecurigaan), karena sebagian dari prasangka
itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah
menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan
daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya.
dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha
Penyayang (Surah al-Hujurat(49):12)
Ayat tersebut menegaskan
posisi hukum gibah sebagai sebuah perbuatan yang merusak tata hidup
kemasyarakatan sekaligus sebagai “pengkhianatan” terhadap sesama manusia.
Sebuah perumpamaan yang sangat tegas dari al-Qur’an tentang gibah ini adalah “sukakah
engkau memakan daging saudaramu yang sudah mati”. Pertanyaan yang ironis
dari kata “ayuhibbu“ (sukakah) melambangkan bahwa terdapat
kecenderungan orang untuk suka bergibah, namun kesukaan itu dicela agama. Lalu
ada kata “memakan daging” yang berarti menikmati suasana gibah itu
bagaikan seseorang yang mamakan daging dengan nikmatnya. Sedangkan kata “maytan”
(mati) berarti bahwa orang yang digibah itu dalam keadaan tidak berdaya,
tidak mampu dan tidak sempat membuat pembelaan karena dia tidak hadir.
يَاأّيُّهَا
الّذِينَ ءَامَنُوا لاَيَسْخَرْ قَوْمُُ مِّن قَوْمٍ عَسَى أَن يَكُونُوا خَيْرًا
مِّنْهُمْ وَلاَنِسَآءُُ مِّن نِّسَآءٍ عَسَى أَن يَكُنَّ خَيْرًا مِّنْهُنَّ
وَلاَتَلْمِزُوا أَنفُسَكُمْ وَلاَتَنَابَزُوا بِاْلأَلْقَابِ بِئْسَ اْلإِسْمُ
الْفُسُوقُ بَعْدَ اْلإِيمَانِ وَمَن لَّمْ يَتُبْ فَأُوْلاَئِكَ هُمُ
الظَّالِمُونَ {11}
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah
sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh Jadi yang
ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan
merendahkan kumpulan lainnya, boleh Jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan
janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang
mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk
sesudah iman dan Barangsiapa yang tidak bertobat, Maka mereka Itulah
orang-orang yang zalim. (Surah Al Hujuraat : 11)
Jangan
mencela dirimu sendiri maksudnya ialah mencela antara sesama mukmin karana
orang-orang mukmin seperti satu tubuh. Panggilan yang buruk ialah gelar yang
tidak disukai oleh orang yang digelari, seperti panggilan kepada orang yang
sudah beriman, dengan panggilan seperti: Hai fasik, Hai kafir dan sebagainya.
Oleh
karena itu tidak halal seorang muslim yang mengenal Allah dan mengharapkan
hidup bahagia di akhirat kelak, memperolokkan orang lain, atau menjadikan
sementara orang sebagai objek permainan dan perolokannya. Sebab dalam hal ini
ada unsur kesombongan yang tersembunyi dan penghinaan kepada orang lain, serta
menunjukkan suatu kebodohannya tentang neraca kebajikan di sisi Allah. Justru
itu Allah mengatakan: "Jangan ada suatu kaum memperolokkan kaum lain,
sebab barangkali mereka yang diperolokkan itu lebih baik daripada mereka yang
memperolokkan; dan jangan pula perempuan memperolokkan perempuan lain, sebab
barangkali mereka yang diperolokkan itu lebih baik daripada mereka yang
memperolokkan."
Yang
dinamakan baik dalam pandangan Allah, yaitu: iman, ikhlas dan mengadakan kontak
yang baik dengan Allah. Bukan dinilai dari rupa, badan, pangkat dan kekayaan.
Dalam
hadisnya Rasulullah shollallohi 'alaihi wasallam mengatakan: "Sesungguhnya
Allah tidak melihat rupa kamu dan kekayaan kamu, tetapi Allah melihat hati kamu
dan amal kamu." (Riwayat Muslim)
Bolehkah
seorang laki-laki atau perempuan diperolokkan karena suatu cacat di badannya,
perangainya atau karena kemiskinannya? Dalam sebuah riwayat diceriterakan,
bahwa Ibnu Mas'ud pernah membuka betisnya dan nampak kecil sekali. Maka tertawalah
sebagian orang. Lantas Rasulullah shollallohi 'alaihi wasallam bersabda:
"Apakah
kamu mentertawakan kecilnya betis Ibnu Mas'ud, demi Allah yang diriku dalam
kekuasaanNya: bahwa kedua betisnya itu timbangannya lebih berat daripada gunung
Uhud." (Riwayat Thayalisi dan Ahmad)
Al-Quran
juga menghikayatkan tentang orang-orang musyrik yang memperolok orang-orang
mu'min, lebih-lebih mereka yang lemah-seperti Bilal dan 'Amman-- kelak di hari
kiamat, neraca menjadi terbalik, yang mengolok-olok menjadi yang diolok-olok
dan ditertawakan:
إِنَّ الَّذِينَ أَجْرَمُوا
كَانُوا مِنَ الَّذِينَ ءَامَنُوا يَضْحَكُونَ {29} وَإِذَا مَرُّوا بِهِمْ
يَتَغَامَزُونَ {30} وَإِذَا انْقَلَبُوا إِلىَ أَهْلِهِمُ انقَلَبُوا فَاكِهِينَ
{31} وَإِذَا رَأَوْهُمْ قَالُوا إِنَّ هَآؤُلآَءِ لَضّآلُّونَ {32}
وَمَآأُرْسِلُوا عَلَيْهِمْ حَافِظِينَ {33} فَالْيَوْمَ الَّذِينَ ءَامَنُوا مِنَ
الْكُفَّارِ يَضْحَكُونَ {34}
Sesungguhnya
orang-orang yang berdosa, adalah mereka yang dahulunya (di dunia) menertawakan
orang-orang yang beriman. (QS. 83:29)
Dan
apabila orang-orang beriman lalu di hadapan mereka, mereka saling
mengedip-ngedipkan matanya. (QS. 83:30)
Dan
apabila orang-orang berdosa itu kembali kepada kaumnya, mereka kembali dengan
gembira. (QS. 83:31)
Dan
apabila mereka melihat orang-orang mu'min, mereka mengatakan:"Sesungguhnya
mereka itu benar-benar orang-orang yang sesat", (QS. 83:32)
padahal
orang-orang yang berdosa itu tidak dikirim untuk penjaga bagi orang-orang
mu'min. (QS. 83:33)
Maka
pada hari ini, orang-orang yang beriman menertawakan orang-orang kafir, (QS.
83:34)(Qs.al-Muthaffifin(83) 29-34)
Ghibah
juga sama dengan riba, bahkan lebih berat lagi dosanya. Sebagaimana Abu Ya’la
meriwayatkan, Bahwa Rasulullah shollallohi 'alaihi wasallam bersabda:
"Tahukah kamu
seberatberat riba
di sisi Allah?" Jawab sahabat: "Allah dan Rasul-Nya yang lebih
mengetahui."
Nabi shollallohi 'alaihi
wasallam bersabda: "Seberat-berat riba di sisi Allah ialah menganggap
halal mengumpat kehormatan seorang muslim."
Kemudian
Nabi shollallohi 'alaihi wasallam membaca ayat yang artinya: "Dan
orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan
yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa
yang nyata." (As-Silsilah As- Shahihah, 1871)
Penyakit
ghibah pernah menjangkiti Aisyah, istri Rasulullah shollallohi 'alaihi wasallam
Aisyah sang istri Rasulullah shollallohi 'alaihi wasallam pernah lalai
melakukan hal Ghibah dan Rasulullah shollallohi 'alaihi wasallam sempat
marah padanya dan langsung memperingatkan sang Istri. Tatkala
itu, Aisyah berkata kepada Nabi shollallohi 'alaihi wasallam:
"Cukuplah bagimu
Shafiyah (cukup cela untukmu Shafiyah yang bertubuh pendek)." Dengan nada
keras beliau menjawab: "Sesungguhnya engkau telah mengeluarkan satu
kalimat yang amat keji, andaikan dicampur dengan air laut niscaya dapat
merusaknya." Dan pada kesempatan lain, Aisyah juga berkata: "Saya
mencontohkan kejelekan orang kepada Nabi shollallohi 'alaihi wasallam"
Maka Nabi bersabda: "Saya tidak suka mencontohkan (memperagakan keburukan)
orang meskipun saya akan mendapat upah ini dan itu yang banyak." (HR.Abu
Dawud dan At Tirmidzi dari Aisyah).
Dosa
ghibah juga lebih besar daripada berbuat zina.
"Hati-hatilah kamu
dari ghibah, karena sesungguhnya ghibah itu lebih berat dari pada berzina.
Ditanya, bagaimanakah? Jawabnya, "Sesungguhnya orang yang berzina bila
bertaubat maka Allah akan mengampuninya, sedangkan orang yang ghibah tidak akan
diampuni dosanya oleh Allah, sebelum orang yang di ghibah memaafkannya." (HR
Albaihaqi, Atthabarani, Abu Asysyaikh, Ibn Abid)
Begitulah
Allah mengibaratkan orang yang suka menggibah dengan perumpamaan yang
sangat buruk untuk menjelaskan kepada manusia, betapa buruknya tindakan
ghibah.
Sebagaimana
diharamkan seseorang melakukan ghibah, diharamkan juga mendengarkannya
dan mendiamkan perbuatan tersebut. Oleh karena itu wajib membantah orang
yang melakukannya. Dalam hadits yang diriwayatkan dari Abu Darda’ dari
Nabi shollallohi 'alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa membela kehormatan
saudaranya maka Allah menghalangi wajahnya dari api neraka di hari kiamat,”
(HR. Tirmidzi)
Orang
yang senantiasa mengumpat orang lain dan mencari-cari kesalahannya akan
disiksa oleh Allah dengan siksaan yang berat. Yakni mencakar-cakar muka dan dada
sendiri dengan kuku yang terbuat dari tembaga. Hal ini sebagaimana hadits Rasulullah
shollallohi 'alaihi wasallam yang diriwayatkan dari Anas bin Malik r.a, bahwasanya
Rasulullah shollallohi 'alaihi wasallam bersabda:
“Pada malam Isra’ mi’raj,
aku melewati suatu kaum yang berkuku tajam yang terbuat dari tembaga. Mereka
mencabik-cabik wajah dan dada mereka sendiri. Lalu aku bertanya pada Jibril”
Siapa merka?” Jibril menjawab, “Mereka itu suka memakan daging manusia, suka
membicarakan dan menjelekkan orang lain, mereka inilah orang-orang yang gemar
akan ghibah!” (dari Abu Daud yang berasal dari Anas bin Malik ra).
Dari
Sahl bin Sa’ad radhiyallohu anha, dia telah berkata : Rasulullah shollallohi
'alaihi wasallam telah bersabda :
“Barangsiapa memberikan
jaminan kepadaku terhadap apa yang berada di antara dua rahangnya dan apa yang
berada di antara dua pahanya, maka aku memberi jaminan surga baginya”. (HR.
Bukhari dan Muslim)
Dari
hadits di atas disebutkan bahwa seseorang akan dijamin keselamatan akhiratnya
jika ia sendiri bisa menjamin apa yang berada di antara dua rahangnya dan dua
pahanya, dan apa yang ada di antara dua rahangnya adalah lidah atau perkataannya.
Karena sesungguhnya perbuatan lidah ini akan sangat banyak dampak yang
dapat ditimbulkan olehnya.
Dikisahkan
Ubay dan Umayyah yang kaya raya sering mengejek dan menghina Nabi
Muhammad shollallohi 'alaihi wasallam yang miskin karena kesombongan mereka karena
harta mereka yang banyak. Selain mereka, ada juga Akhnas dan Jamil, si pengumpat,
yang suka mengejek dan menghina orang miskin karena harta mereka banyak.
Mereka juga senang menimbun harta dan menghitung-hitung harta mereka. Lalu Allah
menurunkan surat ini sebagai peringatan atas perbuatan mereka :
وَيْلُُ لِّكُلِّ هُمَزَةٍ لُّمَزَةٍ {1}
الَّذِي جَمَعَ مَالاً وَعَدَّدَهُ {2} يَحْسَبُ أَنَّ مَالَهُ أَخْلَدَهُ {3}
كَلاَّ لَيُنبَذَنَّ فيِ الْحُطَمَةِ {4} وَمَآأَدْرَاكَ مَاالْحُطَمَةُ {5} نَارُ
اللَّهِ الْمُوقَدَةُ {6} الَّتِي تَطَّلِعُ عَلَى الأَفْئِدَةِ {7} إِنَّهَا
عَلَيْهِم مُّؤْصَدَةٌ {8} فيِ عَمَدِِ مُّمَدَّدَةٍ {9}
Kecelakaanlah
bagi setiap pengumpat lagi pencela, (QS. 104:1)
yang
mengumpulkan harta lagi menghitung-hitung, (QS. 104:2)
ia
mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya, (QS. 104:3)
Sekali-kali
tidak! Sesungguhnya dia benar-benar akan dilemparkan ke dalam Huthamah. (QS.
104:4)
Dan
tahukah kamu apa Huthamah itu (QS. 104:5)
(yaitu)
api (disediakan) Allah yang dinyalakan, (QS. 104:6)
yang
(naik) sampai ke hati. (QS. 104:7)
Sesungguhnya
api itu ditutup rapat atas mereka, (QS. 104:8)
(sedang
mereka itu) diikat pada tiang-tiang yang panjang. (QS. 104:9) (Qs. Al
Humazah(104) (104) : 1 – 9)
Dari
Ibnu Abbas r.a, bahwa sesungguhnya Rasulullah saw pernah berjalan melewati
2 (dua) kuburan, kemudian beliau bersabda : “Sesungguhnya 2 (dua) orang ahli
kubur itu disiksa dan keduanya tidak disiksa karena dosa besar. Ya, benar.
Sesungguhnya dosa itu adalah besar. Salah seorang di antara keduanya adalah
berjalan di muka bumi dengan menyebarkan fitnah (mengumpat). Sedang salah
seorang yang lain tidak bertirai ketika kencing”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Menggibah
kadang mendapat pembenaran dengan dalih, “Ini fakta, untuk diambil pelajarannya!”.
Padahal di balik itu kurang lebih mungkin lebh banyak faktor ghibahnya daripada
pelajarannya.
Pada
diri manusia itu cenderung terdapat sifat suka menggunjingkan orang lain. Orang
cenderung ingin tahu masalah yang terjadi pada orang lain. Dengan demikian ia
akan merasa beruntung tidak seperti orang lain atau tidak dirinya saja yang
menderita. Jika demikian kebanyakan sifat dari manusia, tentunya kita
harus sering melakukan istighfar. Syaitan dengan mudahnya mempengaruhi
kebanyakan hati kita sehingga mungkin kita tengah menumpuk dosa akibat
pergunjingan. Setiap orang mempunyai harga diri yang harus dihormati.
Membuat malu seseorang adalah perbuatan dosa. “Tiada seseorang yang
menutupi cacat seseorang di dunia, melainkan kelak di hari kiamat Allah pasti
akan menutupi cacatnya” (HR. Muslim).
3.
Ghibah
yang Dibolehkan
Ghibah
hanya dibolehkan untuk tujuan syara’ yaitu yang disebabkan oleh enam keadaan,
yaitu:
1.
Orang
yang mazlum (teraniaya) boleh menceritakan dan mengadukan kezaliman orang yang
menzaliminya kepada seorang penguasa atau hakim atau kepada orang yang berhak
memutuskan suatu perkara dalam rusaha menuntut haknya. Hal ini dijelaskan dalam
Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 148:
لاَّيُحِبُّ
اللهُ الْجَهْرَ بِالسُّوءِ مِنَ الْقَوْلِ إِلاَّ مَن ظُلِمَ وَكَانَ اللهُ
سَمِيعًا عَلِيمًا {148}
Allah
tidak menyukai Ucapan buruk, (yang diucapkan) dengan terus terang kecualioleh
orang yang dianiaya. Allah adalah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.(Qs. An-Nisa(4):
148)
Ucapan
buruk sebagai mencela orang, memaki, menerangkan keburukankeburukan orang lain,
menyinggung perasaan seseorang, dan sebagainya.
2.
Meminta
bantuan untuk menyingkirkan kemungkaran dan agar orang yang berbuat maksiat
kembali ke jalan yang benar. Pembolehan ini adalah untuk mencegah kemungkaran
dan mengembalikan orang yang bermaksiat ke jalan yang benar. Selain itu, ia
juga merupakan kewajipan manusia untuk beramar ma’ruf nahi munkar. Setiap
muslim hendaklah saling bahumembahu menegakkan kebenaran dan meluruskan jalan
orang-orang yang menyimpang dari hukum-hukum Allah.
3.
Istifta’
(meminta fatwa) berkaitan sesuatu masalah. Walaupun kita diperbolehkan
menceritakan keburukan seseorang untuk meminta fatwa, untuk lebih berhati-hati,
ada baiknya kita hanya menyebutkan keburukan orang lain sesuai yang ingin kita
adukan, tidak lebih daripada itu.
4.
Memperingatkan
kaum muslimin dari beberapa kejahatan seperti apabila ada perawi, saksi, atau
pengarang yang cacat sifat atau kelakuannya, menurut ijma’ ulama kita boleh
bahkan wajib memberitahukannya kepada kaum muslimin. Ia dilakukan untuk
memelihara kebersihan syariat. Ghibah dengan tujuan seperti ini jelas haruskan,
bahkan diwajibkan untuk menjaga kesucian hadits. Apalagi hadits merupakan
sumber hukum kedua bagi kaum muslimin setelah Al-Qur’an. Dikisahkan oleh Abu
Turab An-Nakhasyabi bahwa suatu saat dia mendengar Imam Ahmad bin Hambal sedang
membicarakan kritikan atas sebagian periwayat hadits. Maka dia berkata kepada
beliau: “Apakah anda hendak menggunjing para ulama?!” Maka Imam Ahmad menjawab:
“Celaka kamu! Ini adalah nasihat, bukan menggunjing.” (Al-Baa’itsul
Hatsiits, hal. 228)
Imam Ibnu Katsir mengatakan,
“Berbicara tentang cela orang-orang (semacam para periwayat hadits) dalam
rangka nasihat untuk membela agama Allah, Rasul dan Kitab-Nya serta untuk
menasihati kaum mukminin bukanlah termasuk ghibah, bahkan pelakunya akan
mendapat pahala apabila dia memiliki maksud yang tulus seperti itu.” (Al-Baa’itsul
Hatsiits, hal. 228)
Pada suatu kesempatan
ditanyakan kepada Yahya bin Sa’id Al-Qaththaan: “Apakah engkau tidak merasa
khawatir kalau orang yang engkau tinggalkan haditsnya (dinyatakan sebagai rawi
yang matruk) menjadi musuhmu pada hari kiamat kelak?” Maka beliau menjawab:
“Lebih baik bagiku orang-orang itu menjadi musuhku daripada aku harus
bermusuhan dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada saat itu
sehingga beliau ak
5.
Menceritakan
kepada khalayak tentang seseorang yang berbuat fasik atau bid’ah seperti,
minum-minuman keras, merampas harta orang secara paksa. Ketika menceritakan
keburukan itu kita tidak boleh menambah-nambaha dan sepanjang niat melakukan
hal itu hanya untuk kebaikan agar menghindari pergaulan dengan orang tersebut.
Kerana bergaul dengan orang fasik atau pun ahli bid’ah bisa membahayakan agama
kita.
6.
Bila
seseorang telah dikenal dengan julukan si pincang, si pendek, si bisu, si buta,
atau sebagainya, maka kita boleh memanggilnya dengan gelaran di atas agar orang
lain boleh memahami. Tetapi jika tujuannya untuk menghina, maka haram hukumnya.
Jika ia mempunyai nama lain yang lebih baik, maka lebih baik memanggilnya
dengan nama lain tersebut. (dari Imam Nawawi dalam kitab Syarah Shahih Muslim
dan Riyadhu As-Shalihin)
4.
Ghibah
dan Infotainment.
Sosialisasi
pergunjingan di televisi bagaimanapun harus dihindari. Jangan sampai
kita
merasa tidak berdosa melakukannya. Bahkan merasa terhibur dengan informasi
semacam itu. Kita mesti berhati-hati. Bahaya ghibah harus senantiasa ditanamkan
agar kita senantiasa sadar akan bahayanya. Benar kiranya jika dikatakan bahwa
dulu orang tinggal di dalam rumah karena menghindari bahaya dari luar. Kini
bahaya justru berasal dari dalam rumah sendiri yaitu dengan hadirnya acara yang
menurunkan kualitas iman di televisi.
Kita
bisa melihat dengan semakin maraknya tayangan infotainment TV yang berisikan
berita-berita ghibah selain tentunya lebih banyak berita yang tidak jelas
asalnya alias gossip. Cerita perselingkuhan artis, kasus perkelahian antar
suami istri, atau berita artis yang menolak ibunya, atau ibu yang menyumpahi
anaknya. Atau berita tentang mantan istri yang menceritakan kejelekan mantan
suaminya
Menceritakan
kejelekan orang lain ada dua jenis, yaitu yang benar-benar terjadi dan yang
tidak benar-benar terjadi. Dalam bahasa Arab-nya, yang benar-benar terjadi
disebut “ghibah“, Sedangkan jika cerita tersebut adalah
karangan/khayalan yang tidak benar-benar terjadi maka disebut ”fitnah”.
Beberapa
berita di Infotaiment, sebagian besar adalah ghibah (kejelekan yang
benar-benar terjadi) namun lebih banyak lagi mengenai fitnah (yang tidak
benar-benar terjadi), dimana istilah ‘keren”nya adalah gossip.
Lalu
pertanyaannya adalah apakah menonton infotainment juga haram? Al-Ghazali
menegaskan bahwa mustami’ (pendengar) adalah sekutu atau kongsi dari si
pengucap, dalam dosa dan keburukannya. Ini yang menarik, karena mungkin
sebagian kalangan menganggap bahwa dosa gibah hanya dipikul oleh pelaku
pengucap, sedangkan mereka yang hanya mendengar bisa terbebas dari dosa dan
keburukan tersebut. Kalau dilogikakan, bagaimana mungkin si pengucap menanggung
dosa gibah itu sendirian. Sedangkan dia tidak mungkin mengucapkan gibah itu
bila tidak ada yang mau mendengar. Karena itu, sekecil apapun respon si
pendengar ketika dia tidak segera meninggalkan majlis (tempat bertemu) atau
mengalihkan topik pembicaraan, itu sudah cukup mengantarkannya menjadi anggota
kelompok penggibah. Sebab respon itulah yang menjadi pelengkap dari suatu
gibah. Seseorang yang bergibah di tengah orang tuli atau yang tidak perhatian,
tentu tidak menjadi gibah karena tidak ada makna dari pembicaraan itu.
Orang-orang
yang menyebarkan gosip nggak berada pada satu level dosa, tetapi tergantung
besar kecil andilnya dalam menyebarkan gosip. Allah SWT. Berfirman :
إِنَّ الَّذِينَ جَآءُوا بِاْلإِفْكِ عُصْبَةٌ
مِّنكُمْ لاَتَحْسَبُوهُ شَرًّا لَّكُم بَلْ هُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ لِكُلِّ امْرِئٍ
مِّنْهُم مَّااكْتَسَبَ مِنَ اْلإِثْمِ وَالَّذِي تَوَلَّى كِبْرَهُ مِنْهُمْ لَهُ
عَذَابٌ عَظِيمٌ {11}
Sesungguhnya orang-orang yang
membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga.Janganlah kamu kira
berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu.Tiap-tiap
seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya dan siapa
diantara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam penyiaran berita
bohong itu baginya azab yang besar. (QS. 24:11)
Majelis
Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa haram untuk infotainment baik bagi
yang manayangkan maupun menonton. Fatwa tersebut disahkan dalam pleno MUI dalam
Musyawarah Nasional (Munas) di Jakarta, Selasa, tanggal 27 Juli 2010 oleh Ketua
Komisi Fatwa MUI, Ma`ruf Amin Dalam Musyawarah Nasional Majelis Ulama Indonesia
tersebut menghasilkan tujuh (7) fatwa baru atas sejumlah permasalahan yang ada
di Indonesia saat ini. Dan berikut 7 fatwa itu :
a.
Membolehkan
asas pembuktian terbalik dalam kasus hukum tertentu misalnya untuk pembuktian
kekayaan seseorang yang diduga diperoleh secara tidak sah;
b.
Membolehkan
pilot yang sedang bertugas tidak berpuasa di bulan Ramadan. Bagi yang terbang
terus-menerus dapat mengganti puasa dengan fidyah, sementara yang temporal bisa
mengganti dengan puasa di lain hari;
c.
Mengharamkan
kawin kontrak atau nikah wisata;
d.
Operasi
ganti kelamin tanpa ada alasan alamiah dalam diri yang bersangkutan sesuai
regulasi Kementerian Kesehatan diharamkan. Pengharaman ini juga berlaku bagi
tenaga medis yang melakukan. Namun MUI membolehkan penyempurnaan alat kelamin;
e.
Mengharamkan
donor sperma dan bank sperma. Namun Bank Air Susu Ibu dibolehkan;
f.
Mengharamkan
donor organ jika pendonor masih hidup. Pendonor harus sudah meninggal, sukarela
dan tidak komersial. Sementara donor organ binatang dibolehkan jika tak ada
pilihan lain.
g.
Mengharamkan
pemberitaan, penyiaran dan penayangan aib orang. Pengecualian hanya demi
kepentingan umum seperti untuk penegakan hukum.
Menurut
ketentuan umum fatwa mengenai infotainment, menceritakan aib, kejelekan gosip,
dan hal-hal lain terkait pribadi kepada orang lain dan atau khalayak hukumnya
haram. Dalam rumusan fatwa tersebut juga disebutkan upaya membuat berita yang
mengorek dan membeberkan aib, kejelekan gosip juga haram. Begitu juga dengan
mengambil keuntungan dari berita yang berisi tentang aib dan gosip dinyatakan
hukumnya haram oleh MUI.
Jadi,
Pandangan ulama mengenai gibah ini sudah jelas. Hukum Gibah adalah HARAM
dilarang keras berdasarkan al-Qur’an Surah al-Hujurat, dan hadis riwayat Muslim
yang telah dijelaskan. Dalam ayat tersebut digunakan kata “laa” yang berarti
larangan (nahy). Kalimat nahy atau larangan secara otomatis bermakna
pengharaman. Dan selama tidak ditemukan dalam ayat-ayat lain yang membatasi
larangan itu, maka larangan atau pengharamannya bersifat mutlak. Perkecualian
tentang kebolehan gibah hanyalah untuk tujuan kebaikan, sebagaimana disebut
Imam Nawawi di atas. Selain itu, tidak ada alas an yang dapat diterima.
Sementara dalam hadis Muslim tentang penjelasan Nabi kepada sahabatnya mengenai
gibah, diketahui bahwa konteksnya sudah dalam pelarangan. Ini terbukti dengan
sanggahan yang disampaikan sahabat bukan dari sisi hukumnya, namun dari sisi
cakupannya.
Dengan
demikian, keharaman gibah sangat kuat dan tidak menyisakan perbedaan pendapat.
Dan sejauh ini tidak ditemukan pendapat yang membolehkan gibah tanpa alasan
sebagaimana yang dikemukakan.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا قُوا
أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا
مَلآئِكَةٌ غِلاَظٌ شِدَادُُ لاَّيَعْصُونَ اللهَ مَآأَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ
مَايُؤْمَرُونَ {6}
Hai
orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka
yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang
kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa ang
diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.
(QS. At Tahrim (66): 6)
Al-‘Allamah
Asy-Syaikh Abdurrahman ibnu Nashir As-Sa’di rahimahullahu berkata menafsirkan
ayat ke-6 surah At-Tahrim di atas, “Jagalah diri kalian dan keluarga kalian
dari api neraka, yang disebutkan dengan sifat-sifat yang mengerikan. Ayat ini
menunjukkan perintah menjaga diri dari api neraka tersebut dengan ber-iltizam
(berpegang teguh) terhadap perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala, menunaikan
perintah-Nya, menjauhi larangan-Nya, dan bertaubat dari perbuatan yang Allah
Subhanahu wa Ta’ala murkai serta perbuatan yang menyebabkan azab-Nya.
Sebagaimana ayat ini mengharuskan seseorang menjaga keluarga dan anak-anak dari
api neraka dengan cara memberikan pendidikan dan pengajaran tahuid kepada
mereka, serta memberitahu mereka tentang perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Seorang hamba tidak dapat selamat kecuali bila ia menegakkan apa yang Allah
Subhanahu wa Ta’ala perintahkan terhadap dirinya dan orang-orang yang di bawah
penguasaannya, baik istri-istrinya, anak-anaknya, dan selain mereka dari
orang-orang yang berada di bawah kekuasaan dan pengaturannya.
Slot Machine Games At Borgata Hotel & Casino - JTA Hub
BalasHapusSlots of Borgata 영천 출장마사지 Hotel & Casino Slot Machines and Video 안동 출장샵 Poker. New 순천 출장마사지 games. Slots 충주 출장마사지 and Video Poker! Slot Machines 청주 출장마사지 Borgata's slot machines and video poker!